CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Jumat, 11 Januari 2008

Harapan Masyarakat Terhadap SI/TI

Kenakalan Pikir Mas Wigrantoro Roes Setiyadi
Be A Successful Leader For The Nation

Home My Life Journey Institute for Technology and Economic Policy Studies [INSTEPS] jump to navigation Mengatasi Paradok Produktivitas Dalam SI/TI KPU December 29, 2006
Posted by Mas Wigrantoro Roes Setiyadi in Atikel di Warta Ekonomi.
trackback


Persoalan paradok produktivitas (productivity paradox) Sistem Informasi /Teknologi Informasi (SI/TI) belakangan muncul dalam konteks politik dan organisasi publik, khususnya ketika SI/TI digunakan dalam penghitungan hasil pemilihan umum parlemen 2004 yang baru lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menginvestasikan sedikitnya Rp. 200 milyar untuk pengadaaan perangkat dan aplikasi SI/TI dengan harapan agar penghitungan suara hasil pemilu dapat berjalan dengan cepat, akurat dan transparan. Dalam beberapa hal penayangan hasil perhitungan suara sudah memenuhi kriteria kecepatan yang diinginkan, namun demikian akurasi dan transparansi masih menjadi persoalan yang berbuntut pada keraguan terhadap masih diperlukannya SI/TI dalam pemilu – pemilu berikutnya. Jika ditambahkan dengan persoalan rentannya sistem keamanan yang melekat pada SI/TI KPU, belum tersedianya komputer dan jaringan komunikasi secara merata di seluruh Panitia Pemungutan Suara (PPS) di tingkat kecamatan, serta persoalan manajemen sistem informasi yang dinilai masih tidak standar, dapat diperkirakan persoalan paradok produktivitas SI/TI di KPU makin menjadi nyata. Partanyaannya apakah kita membiarkan hal ini terus terjadi, sementara di lain pihak, jika dikelola dengan baik SI/TI dapat memberikan manfaat yang lebih besar dari pada yang diharapkan (Laudon, 2002).



Dalam berbagai kasus, investasi SI/TI masih belum berhasil memberikan manfaat yang diharapkan kepada organisasi (Ward & Peppard, 2003). Pimpinan perusahaan sering dihadapkan pada kenyataan bahwa belanja modal (capital expenditure) untuk SI/TI tidak membuahkan hasil hingga nilai tertentu sesuai dengan besarnya investasi yang telah dilakukan. Perusahaan menggunakan SI/TI untuk pengelolaan akuntansi dan keuangan, operasional pemasaran, layanan pelanggan, koordinasi antar kantor cabang, perencanaan produksi, pengendalian persediaan, mengurangi lead time, melancarkan distribusi dan lain sebagainya. Namun tidak jelas apakah penggunaan SI/TI semacam ini sudah secara nyata menghasilkan output yang lebih banyak (Robert Solow dalam McCarty, 2001).



Persoalan paradok produktivitas dalam investasi SI/TI sebagaimana terjadi di atas telah banyak disinyalir oleh banyak pakar (Brooke, 1992; Low, 2000; Lucas, 1999). Penjelasan mengenai beberapa penyebab munculnya paradok produktivitas antara lain, pertama, investasi SI/TI oleh suatu organisasi seringkali tidak dimanfaatkan dengan baik dan benar, seperti misalnya karyawan lebih banyak menghabiskan waktu dengan komputer untuk hal – hal yang tidak relevan dengan pekerjaan mereka (berselancar di Internet) atau karena kapasitas komputasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan. Kedua, meski komputer sudah dapat menghemat waktu dan biaya (meningkatkan efisiensi) dalam beberapa fungsi organisasi (seperti pelayanan reservasi tiket pesawat melalui Internet), namun dalam aktivitas lain yang tidak dapat dikomputerisasikan masih terjadi ketidak-efisienan, padahal kinerja perusahaan secara keseluruhan tidak dapat dinilai sepotong – sepotong. Ketiga, dalam beberapa hal secara umum masih diperlukan waktu yang relatif cukup panjang untuk mempelajari dan terbiasa dengan SI/TI hingga mencapai level yang mencukupi guna mendukung produktivitas. Akhirnya, penjelasan keempat, kesenjangan produktivitas dapat disebabkan oleh masalah pengukuran, khususnya ketika produk dan atau layanan baru maupun peningkatan kualitas tidak sepenuhnya dimasukkan dalam perhitungan laporan keuangan. Produktivitas dalam layanan SI/TI yang ditunjukkan oleh output layanan dan peningkatan kualitas yang sifatnya intangible memang masih sulit diukur. Di organisasi bisnis, metode akuntansi keuangan yang lazim dipakai dalam pembuatan laporan keuangan masih menempatkan manfaat SI/TI sebagai fakta yang tidak dapat diukur secara kuantitatif. Sedangkan di organisasi publik penetapan dan penggunaan ukuran kuantitatif sebagai indikator keberhasilan dalam pemanfaatan SI/TI belum dibakukan.



Berdasarkan materi presentasi dari tim ahli TI KPU, secara sederhana dapat dikatakan bahwa SI/TI KPU yang digunakan untuk penghitungan suara hasil pemilu terdiri dari aplikasi pengumpulan data (data entry) yang tersedia di setiap PPS, aplikasi agregasi data dan kompilasi data yang tersedia di KPU, aplikasi penyajian data melalui Internet, aplikasi keamanan sistem (security), jaringan komunikasi data, serta manajemen sistem informasi. Menggunakan hasil pengamatan lapangan dan kerangka teori paradok produktivitas di atas, dapat dijelaskan persoalan mendasar yang menimbulkan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap SI/TI KPU tersebut, dan cara mengatasinya.



Meski majoritas operator data entry di PPS sudah terbiasa menggunakan komputer, rendahnya pemahaman terhadap prosedur penginputan data, banyaknya kertas formulir yang harus ditransformasikan ke media elektronik dengan cara manual, panjangnya jam kerja secara terus menerus sehingga menimbulkan kelelahan yang berujung pada kesalahan pemasukan data, serta tidak berlakunya prosedur keamanan sistem menyebabkan munculnya persoalan akurasi yang bernuansa kecurangan dalam penghitungan. Jika mengacu pada teori paradok produktivitas SI/TI di atas maka perancang SI/TI KPU luput untuk memasukkan unsur – unsur penting non-komputer dalam sistem yang dibangunnya, padahal, justru keberhasilan SI/TI KPU sangat dipengaruhi oleh unsur ini. Selain itu, pendeknya waktu untuk sosialiasi bagi para operator juga dapat ditunjuk sebagai penyebab rendahnya kualitas dan produktivitas hasil SI/TI KPU.



Aplikasi agregasi dan kompilasi data yang tersedia di KPU dapat dikatakan sudah cukup bagus, hal ini tercermin dari penyajian data yang cukup detil hingga tingkat Desa bahkan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Namun demikian, untuk keperluan pengecekan yang dilakukan oleh peserta pemilihan umum, penyajian kode desa dan TPS saja menjadi tidak komunikatif, sementara masyarakat ingin mengetahui apakah hasil perhitungan suara di TPS tempat mereka memilih sama dengan yang disajikan dalam website KPU. Keinginan semacam ini tidak terkomodasi, sehingga makin kuatlah kesangsian terhadap akurasi dan tranpransi SI/TI KPU.



Pejabat KPU yang membidangi SI/TI menyebut bahwa ada sedikitnya 1000 PPS yang tidak berkomputer dan tidak terhubung ke SI/TI KPU. Kelangkaan jaringan telekomunikasi ditunjuk sebagai penyebabnya. Sejumlah PPS yang tidak tidak berkomputer ini setara dengan 25% dari total PPS yang seharusnya tersambung ke KPU melalui jaringan komunikasi data. Persoalan lain yang berkait dengan komunikasi data adalah pada penyediaan bandwidth untuk akses Internet oleh tim KPU sendiri maupun oleh masyarakat. Kebutuhan bandwidth sebenarnya mudah untuk dihitung dengan menggunakan asumsi – asumsi. Kontrak bisnis dengan penyedia bandwith-pun dapat dibuat fleksibel mengikuti kenaikan trafik akses. Kegagalan dalam menyediakan fasilitas SI/TI sesuai kapasitas yang dibutuhkan diduga menjadi penyebab lain dalam paradok produktivitas SI/TI KPU ini. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya gangguan keamanan berupa dirusaknya tampilan situs Internet yang digunakan untuk menayangkan hasil perhitungan suara.



Penetapan parameter keberhasilan atas kinerja SI/TI KPU tidak ditetapkan dengan jelas, hal ini tercermin dari tidak konsistennya pernyataan anggota KPU yang membidangi SI/TI maupun tim ahli SI/TI KPU mengenai ukuran keberhasilan yang ingin dicapainya. Meski terlihat sepele, namun pernyataan mengenai tolok ukur keberhasilan perlu disosialisasikan secara luas dengan angka – angka yang mudah dimengerti masyarakat awam. Kegagalan melakukan hal ini, mendorong menguatnya paradok produktivitas SI/TI sebagai akibat dari kealpaan dalam perencaaan secara menyeluruh SI/TI.





Berbagai fakta dan analisis di atas tentunya tidak akan berhenti sebagai wacana saja, sementara kita tahu bahwa proses pemilu masih akan berlanjut pada bulan Juli mendatang untuk memilih Presiden. Jika KPU masih berniat untuk menggunakan SI/TI penghitungan suara dalam pemilu Presiden mendatang, menjadi keharusan bagi KPU untuk meninjau ulang SI/TI-nya dan sekaligus memperbaikinya. Sementara itu, terlepas dari belum adanya pengakuan hukum atas catatan transaksi elektronik, pengakuan masyarakat terhadap hasil kerja SI/TI KPU akan muncul dengan sendirinya apabila memenuhi tiga kriteria cepat, akurat dan transparan.











More Photos



Sonific SongSpot

FeedsFull
Comments
Theme: Regulus by Binary Moon Blog at WordPress.com. Top

0 komentar: